Tapi jika harus seserius itu untuk memahami rasa. Kenapa pemulung yang tidak sekolah pun bisa memahami rasa yang kedalaman maknanya bisa melebihi para psikolog, biolog dan teolog terhebat sekalipun? Bahkan rasa mereka justru seolah mengolok ngolok kita yang merasa pernah merasakan berbagai rasa di dunia ini melebihi siapapun yang pernah menjelajahi rasa. Coba saja jika tidak percaya. Aku justru pernah terkagum kagum dalam memahami rasa yang mereka alami dalam hidup mereka.
Atau mungkin kalian perlu mengenal rasa dari anak anak panti asuhan yang umurnya lebih muda dari kita. Atau Opa dan Oma di panti jompo yang lebih banyak paham rasa karena mereka hidup jauh lebih lama dari kita. Cobalah kalian jika ingin kesana menghilangkan konsep kedatangan kalian kesana karena merasa mereka perlu dikasihani atau sekedar pelampiasan rasa syukur kalian untuk wadah amal dan ibadah kalian untuk mendapatkan pahala. Dalami rasa mereka dan yakinlah kalian akan malu ketika kalian bisa menemukan rasa mereka dalam posisi seperti itu. Rasa Para Penghuni Panti Asuhan atau Panti Jompo yang perlu diperhatikan dan dikasihi. Kalian akan kaget jika disadarkan bahwa sebenarnya merekalah yang justru sedang beramal dan beribadah saat kita mengunjungi mereka. Kitalah yang justru sedang dikasihi oleh mereka. Pernahkah kalian mencoba memahami rasa mereka yang dengan senang hati memberi kesempatan kepada kita untuk memberikan amal dan ibadah dan menyambut kita dengan sukacita. Rasa apa yang kita terima ketika kita memahami itu? Coba jika kalian menjadi penghuni panti itu dan setiap saat kalian merasa seperti tontonan setiap orang yang berkunjung untuk wisata sosial atau rohani. Bayangkan betapa bosannya menghadapi setiap rombongan yang datang menemui mereka. Apalagi jika kalian dianggap manusia yang harus dikasihani dan tidak punya kehormatan atau harga diri. Pribadi seperti apa yang tercipta di lingkungan itu? Cobalah sekali kali belajar memahami rasa mereka. Bisa jadi rasa mereka sebenarnya jauh lebih kaya dari kita yang merasa lebih karena memberi kepada mereka.
Disinilah sebenarnya caraku untuk menguji kemurnian dan kesejatian rasaku. Dimana rasa yang aku terima atau yang aku beri bahkan yang aku amati dan perhatikan sekalipun. Aku komunikasi kan dengan cara yang sederhana dan alami untuk mendapatkan kemurnian nya. Sebenarnya ini untuk menambah rasa yang aku pahami. Sehingga aku semakin dewasa dalam memberi dan menerima rasa. Bahkan ketika kondisi dan situasi seolah memperovokasiku untuk pragmatis soal rasa. Sampai pada posisi berhati hati terjebak dalam ilusi rasa. Membuatku selalu mendalami pemahaman rasaku sampai menguji kemurnian dan kesejatian rasa itu secara terus menerus. Agar bisa memahami sejauh mana rasa bisa menyesatkan kemanusiaan ku dan batasan dimana aku tidak menganggap tidak perlu memiliki rasa. Sehingga aku tidak perlu berlarut-larut dalam rasa yang tidak penting bagi kehidupan ku. Bayangkan apapun gendermu, jika engkau hidup sebagai manusia yang tidak punya perasaan atau manusia yang biasa memanipulasi rasa. Maka hidupmu terjebak dalam ilusi rasa yang tidak ada habisnya bahkan sampai harus kecanduan dengan rasa yang sama namun dengan takaran berbeda-beda. Disinilah peran dialog rasa bagi batin kita penting. Agar kita tidak hidup hanya berdasarkan perasaan saja. Tapi perlu juga menggunakan nalar bahkan iman. Agar rasa yang kita terima dan berikan semakin berkembang sampai pada wujud nya yang paling sempurna dari manusia yang ingin hidup sampai pada proses nya yang sempurna.
Seru memang jika kita terus menerus melakukan dialog rasa sepanjang hidup kita. Sampai kita paham rasa yang sejati dan murni ketika kita bertemu rasa Ilahi yang melampaui segala rasa di akhir hayat hidup kita. Hanya itu yang jadi panduan rasa ku agar Hidupku tidak hambar dan aku bisa obyektif dalam memandang manusia manusia yang tidak memiliki perasaan atau ahli memanipulasi perasaan. Setidaknya rasa kita semakin bijaksana bertemu dengan mereka yang seperti itu. Jadi pahamilah setiap rasa yang engkau rasakan supaya engkau tidak terjebak dalam ilusi perasaan yang membuatmu terjebak dalam candu rasa yang tidak mendewasakan. Tetapi justru menghancurkan hidupku dan membuat ku apatis dengan rasa yang ada di dunia ini.
Apapun itu, kita berhak untuk memilih rasa mana yang layak atau boleh masuk dalam hidup kita. Jangan sampai kita dikendalikan oleh rasa yang merupakan anugerah Tuhan yang indah bagi manusia. Justru kitalah yang harus mengendalikan rasa itu. Salah satu caranya adalah dengan terus menerus melakukan dialog rasa sampai menemukan kedewasaan rasa yang membawa kita mencapai kesempurnaan proses pertumbuhan kita sebagai manusia. Jika kalian memahami maksud ku. Cobalah pertanyaan rasa apa yang aku timbulkan saat kalian membaca tulisanku ini? Apakah kalian malah kehilangan rasa atau justru penasaran untuk menjelajahi setiap rasa yang kalian temukan setiap hari? Silahkan kalian jawab dan temukan sendiri rasa itu. Agar kalian bisa mensyukuri kehidupan yang diberikan Tuhan kepada kita. Jangan sampai kalian menyesal tidak bisa menerima dan memberi rasa lagi saat Tuhan mengambil hidup kita. Di saat itupun kalian tidak akan bisa lagi melakukan dialog rasa. Meskipun itu hanya sekedar berkata:"Oh, ini toh rasanya kematian". Jadi nikmati lah setiap rasa itu selagi kalian ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar