KAWASAN BUDAK NUSANTARA (KBN)
(Sebuah Refleksi)
Oleh
Jukaider Istunta Gembira Napitupulu
Tulisan ini adalah sebuah laporan observasi langsung di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung yang merupakan penghayatan empirik terhadap materi dasar yang sudah diberikan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Karya Latihan Bantuan Hukum 2007. Observasi dilakukan selama sehari (Sabtu, 23 Maret 2007) dengan metode pengamatan tidak terlibat (nonparticipant observation) yaitu dengan melakukan wawancara sambil lalu terhadap pekerja, kepala keamanan dan pedagang kaki lima di sekitar wilayah KBN Cakung serta mengamati seluruh wilayah KBN Cakung dengan mengelilingi setiap area sambil mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan kenyataan sosial yang ada di daerah tersebut. Pengamatan ini tidak terikat pada suatu kerangka penelitian ilmiah yang bersifat sistematis, metodologis sehingga jenis observasi ini dapat digolongkan sebagai pengamatan tidak sistematis yang tujuan utamanya adalah sebagai bahan penghayatan terhadap materi dasar yang sudah diberikan dan sifatnya hanyalah sebuah refleksi terhadap kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat khususnya di daerah KBN Cakung..
Kawasan Berikat adalah suatu bangunan, tempat atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Pembentukan Kawasan Berikat dimulai dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 22/ 1986, yang berlaku mulai 6 Mei 1986. Peraturan Pemerintah ini kemudian diubah dengan PP No. 14/1990. Tujuan utama pembentukan kawasan berikat adalah mendorong peningkatan ekspor sehingga perlu diberikan insentif di antaranya berupa fasilitas di bidang perpajakan termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Kemudian dikeluarkan PP No. 3/1996 yang mengatur bahwa atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam Kawasan Berikat diberikan penangguhan PPN. Pada tahun yang bersamaan, dikeluarkan juga PP No. 33/1996 tentang tempat penimbunan berikat yang mencabut PP No. 14/1990.
Pemberian fasilitas khusus yaitu berupa kemudahan di bidang kepabeaan, cukai dan perpajakan di Kawasan Berikat ternyata pada perkembangannya hanya dinikmati oleh mayoritas Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA). Sehingga hal ini menarik untuk dikritisi ketika tujuan utama pembentukan kawasan berikat untuk mendorong peningkatan ekspor namun pemanfaatannya sebagian besar dilakukan oleh perusahaan asing menimbulkan pertanyaan kepada siapakah keuntungan paling besar dapat dinikmati dengan adanya kebijakan tersebut? Apakah negara dalam hal ini dapat mendorong perkembangan ekonomi makro dengan meningkatnya kuantitas ekspor yang tentunya menambah devisa negara, atau ini hanyalah salah satu upaya penghisapan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia mengingat kegiatan ekspor yang dilakukan toh juga dilakukan oleh perusahaan asing bukannya perusahaan lokal. Jika demikian untuk apa pemberian insentif dilakukan? Jika argumentasi didasarkan atas keterbatasan modal dan kurangnya penguasaan teknologi dan rendahnya kualitas SDM, pertanyaannya kenapa pemerintah tidak mengupayakan pemberdayaan modal yang dimiliki pengusaha lokal dan peningkatan kualitas pendidikan dan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang tentunya memiliki dampak perubahan sosial yang lebih besar ketimbang pemberian fasilitas tertentu kepada kelompok kecil yang notabene sebagian besar perusahaan asing? Disini jelaslah kepentingan mana yang lebih diutamakan oleh pembuat kebijakan. Suatu kebijakan yang tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat namun lebih berorientasi pada penyuburan perbudakan model baru di Indonesia.
Tidak mudah menjawab pertanyaan diatas jika hanya mendasarkan analisis pada asumsi-asumsi tanpa disertai data-data pasti yang mendukung.Namun sebagai suatu kepastian hal ini tidak terlepas dari mengakarnya paham neoliberalisme di Indonesia sejak diamandemennya Undang-Undang dasar 1945 khususnya pasal 33. Neoliberalisme sebagai suatu paham yang merujuk pada perangkat ekonomi yang dominan di hampir semua negara di dunia yang membebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah,termasuk dalam penentuan harga, investasi, dan juga dalam pengelolaan perburuhan. Dalam konteks ini, Pemerintah Indonesia dalam banyak hal sudah berada dalam genggaman neo-liberalisme, sehingga program swastanisasi perusahaan-perusahaan negara (seperti penjualan saham Indosat pada zaman Presiden Megawati), dan akan banyak lagi terjadi bukanlah hal yang aneh. Sama halnya dengan keberadaan kawasan berikat yang secara awam dianggap ide cerdas bahwa dengan adanya pengumpulan perusahaan-perusahaan di suatu area tertentu disertai iming-iming insentif (campur tangan pemerintah??) diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan tentunya dapat memberikan ”setetes embun” dalam bentuk penyediaan lapangan kerja.Benarkah demikian??
Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung yang terletak di Jalan Raya Cakung Clincing, yang berjarak 5 Km dari Pelabuhan Tanjung Priok, merupakan sebuah kawasan yang memiliki luas 176,7 hektar dengan jumlah investor sebanyak 102 Perusahaan yang bergerak pada bidang usaha garment, cartoon box, hanger, sepatu, wig, sarung tangan, plastik, pencetakan kain, bubuk kimia, komputer, televisi, pencelupan, furniture, loundry,packaging, tusuk gigi, baju rumah sakit, bordir, makanan, perdagangan ekspor impor, jas hujan. Dari 102 perusahaan tersebut terdapat 23 Perusahaan Modal Dalam Negeri (PMDN), 1 perusahaan swasta dan 78 Perusahaan Modal Asing (PMA). Perusahaan-perusahaan Modal asing tersebut berasal dari Korea, Hongkong, Taiwan, Jepang, Singapura, Italia, Mauritus, India, Belgia.Hampir 80 % perusahaan yang berinvestasi disana adalah perusahaan asing. Hal ini menunjukkan adanya dominasi dari perusahaan asing yang mengindikasikan bahwa mayoritas majikan adalah pihak asing. Lain halnya dengan jumlah Tenaga Kerja Asing di seluruh wilayah KBN di Indonesia tahun 2006 yaitu sebanyak 75.089 pekerja domestik dan 422 pekerja asing. Dari pengamatan di KBN Cakung dapat dilihat mayoritas pekerja adalah pekerja domestik dan sebagian besar adalah perempuan.
KBN Cakung yang terlihat megah dan tertata rapi menimbulkan kesan bagi masyarakat yang mengelilinginya sebagai suatu tempat yang nyaman untuk bekerja. Hal ini tentunya disertai imajinasi kesejahteraan dan kemakmuran bagi pihak-pihak yang bekerja disana. Tidak heran dari hasil wawancara dengan kepala keamanan, pedagang bahkan kepada para pekerja didapatkan informasi bahwa sebagian besar pekerja di sana adalah penduduk sekitar. Minimnya kesempatan kerja dan rendahnya tingkat pendidikan ”memaksa” mereka untuk bekerja di sana setamat SMP dan SMA. Selain untuk mendapatkan pendapatan tambahan, adanya seleksi khusus (rekayasa kesadaran) untuk bekerja disana menimbulkan kesan bahwa bekerja di salah satu pabrik di KBN Cakung adalah sebuah keuntungan. Sehingga tidak mengherankan ketika sebagian besar pekerja disana menganggap bahwa perusahaan adalah pahlawan karena telah memberikan mereka pekerjaan. Hal ini yang membentuk mindset bahwa apapun yang ditentukan perusahaan adalah benar dan mereka harusnya berterima kasih telah diterima bekerja disana. Hal ini diperkuat oleh keterangan beberapa pekerja garment yang mengatakan bahwa mereka bekerja disana ”hanya kalau ada barang” sehingga mereka diberikan label pekerja borongan. Sistem upah yang mereka terima hanya apabila mereka mendapat ”order” untuk bekerja. Apabila tidak ada order mereka tidak bekerja dan tidak mendapat upah. Jika demikian mereka hanya menunggu sambil aktif mencari informasi dari perusahaan apakah ada pekerjaan untuk mereka. Disini dapat dilihat adanya suatu pola hubungan yang timpang, dimana seolah-olah pekerja yang paling butuh perusahaan, padahal dalam proses produksi pekerja memiliki peranan yang cukup penting juga. Bagaimana memikirkan hak apabila pola hubungan yang tercipta sudah timpang??
Paradigma yang timpang juga dapat disimpulkan dari keterangan seorang kepala kemananan yang mengatakan bahwa tidak semua syarat perjanjian kerja dapat dipenuhi oleh perusahaan. Asal ada konsensus antara pekerja dengan perusahaan maka dianggap perusahaan sudah menjalankan kewajibannya. Argumentasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa banyak perusahaan yang bangkrut hanya dalam waktu beberapa tahun karena tidak sanggup memenuhi hak-hak pekerja yang membuat perusahaan terus merugi karena ongkos produksi yang tinggi. Disini dapat dilihat adanya suatu hegemoni pemikiran bahwa apabila pekerja memaksakan haknya maka mereka akan kehilangan pekerjaannya. Kalau tidak ingin kehilangan pekerjaannya maka pekerja harus membantu perusahaan dengan mengurangi tuntutan atas haknya. Hal ini tentunya akan melegalkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja. Peristiwa pelarangan masuk perusahaan 463 buruh yang berdemonstrasi untuk menuntut 8 hak normatif dan 9 kepentingan buruh disertai mogok kerja pada tanggal 7-9 maret 2007 yang menyebabkan perusahaan rugi ratusan juta rupiah disertai rencana manajemen PT Elok Indobratama Agung untuk memPHK mereka yang ikut demonstrasi adalah salah satu contoh sikap arogan perusahaan.Walaupun serikat pekerja disana sudah menawarkan upaya berunding sampai dua kali namun tidak ada respon sama sekali dari perusahaan. (Kompas cyber media, 15 maret 2007). Hal serupa terjadi pada salah seorang pegawai di salah satu perusahaan. Menurut keterangan kepala keamanan pegawai tersebut diberhentikan tanpa batas waktu karena kesalahan dalam proses produksi dan tidak diberikan gaji selama masa berhenti tersebut. Disini ada ketidakpastian status dari pegawai apakah dia masih merupakan pekerja disana atau sudah di PHK.Perusahaan adalah bos, dan pekerja adalah budak maka segala keputusan bos adalah final. Sehingga dominasi perusahaan terhadap pekerja mirip dengan hubungan majikan dengan budak pada zaman dahulu. Memang tidak semua perusahaan bersikap seperti itu, namun penelitian lebih lanjut terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi di KBN Cakung sangat penting untuk membuktikan kebenaran dari analisis terhadap permasalahan tersebut diatas.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa lengkaplah kriteria untuk mengatakan bahwa daerah Kawasan Berikat Nusantara sebagai kawasan Budak Nusantara. Kriteria tersebut antara lain:
1. Peranan yang besar dari investor asing menunjukkan bahwa negara Indonesia bangga mendapatkan belas kasihan dari negara lain dan pertolongan dari bangsa lain padahal dilain pihak justru negara lain yang diuntungkan dengan adanya insentif khusus bahkan hasil produksinya di ekspor ke Asia, Amerika, Eropa, Jepang yang merupakan daerah asal dari investor.
2. Penggunaan modal asing dan sumber daya asing sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara yang mudah menyerah, merasa diri lemah, dan menganggap negara lain lebih unggul daripada negaranya sehingga hal ini membuka peluang untuk terjadinya perbudakan kembali negara Indonesia oleh pihak asing dengan memanfaatkan rendahnya kemampuan berkompetisi dan produktivitas kerja.
3. Sikap pasrah sebagian besar pekerja yang menganggap bahwa perusahaan asing yang memberikan pekerjaan adalah perusahaan menunjukkan bahwa dominasi otot masih lebih besar ketimbang otak sehingga tidaklah mengherankan pekerja Indonesia selalu tertinggal baik dalam hal kualitas sumber daya manusianya dan kemampuan menguasai teknologi.
Dari kesimpulan tersebut diatas dapat disampaikan beberapa saran dan rekomendasi antara lain:
1. Meninjau ulang keberadaan Kawasan Berikat dan mengaudit potensi keuntungan negara dan kontribusinya bagi masyarakat apakah mensejahterakan rakyat atau hanya menguntungkan perusahaan asing.
2. Memperketat pengawasan pelaksanaan ketentuan perjanjian kerja antara perusahaan dengan pekerja di kawasan berikat nusantara.
3. Meningkatkan kualitas SDM para pekerja dengan memprioritaskan pada upaya pencerdasan struktural dengan memberikan kesempatan belajar sampai jenjang pendidikan tinggi lebih besar dengan kebijakan kuota khusus bagi anak-anak buruh untuk dapat mengikuti pendiodikan-pendidikan di universitas negeri.
4. Penyatuan sumber-sumber modal dalam negeri untuk mengelola sumber-sumber produksi untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar